A. Sejarah Persia Kuno
Sejarah kelahiran dan perkembangan
agama Zoroaster tidak bisa dipisahkan dari kerajaan Persia. Sebab perkembangan
agama ini memang tidak terlepas dari peran penguasa yang memerintah Persia,
hingga agama ini pun menjadi agama resmi di negri tersebut.[1]
Selama ini, banyak orang yang menggunakan nama Iran dan Persia
untuk menunjukkan wilayah yang sama. Padahal, sebenarnya antara keduanya
terdapat sedikit perbedaan. Seperti yang tercatat dalam sejarah, salah satu rumpun
bangsa Aria, yaitu bangsa Media, mendiami wilayah Iran bagian barat. Sedangkan
rumpun bangsa Aria lainnya, yaitu bangsa Persia, mendiami wilayah Iran bagian
selatan. Baik bangsa Media maupun Persia, keduanya tunduk pada kekuasaan bangsa
Assyria. Namun, sejak tahun 1000 SM, bangsa Persia berhasil menaklukkan bangsa
Media, bahkan menaklukan imperium Assyria. Sejak itulah, wilayah Iran dikenal
dengan nama Persia.[2]
Kekaisaran Persia tersebut didirikan
oleh Cyrus The Great atau Koresh yang Agung (559-529 SM), cucu dari Raja Kavl
Vishtaspa atau dikenal dengan King Hystaspes dalam literatur Barat, yang
berasal dari keluarga Hakkham. Imperium Persia ini dengan Dinasti Hakkham atau
Dinasti Akhmeniyah (600-331 SM), sedangkan di Barat dikenal dengan nama Dinasti
Achaemenids. Kemudian, ibu kota kerajaan dipindahkan dari Balkh ke kota Sussa
di sebelah timur Sungai Tigris kemudian ke Persepolis (Istakhri). Kerajaan ini
pun menjadi imperium pertama kali. Pada tahun 486 SM, Raja Darius I naik tahta,
dan pada tahun 521 SM, ia berhasil menguasai Iran.[3]
Pada tahun 334 SM, Alexander Agung,
Kaisar Makedonia, Yunani menyerang Persia dengan membawa sekitar 42.000
pasukan. Setelah dua tahum, Alexander berhasil memenangkan pertempuran melawan
pasukan Persia yang dipimpin oleh Raja Darius III. Dalam penaklukan itu,
Alexander memerintahkan pasukannya untuk membunuh ribuan tentara Persia dan
membakar ibu kotanya, Parsepolis. Hal itu sengaja ia lakukan sebagai balasan
atas pembakaran kota Athena yang dulu dilakukan oleh pasukan Persia. Setelah
berhasil menaklukkan Persia, Alexander mngikrarkan diri bahwa dialah pewaris
tahta raja-raja Akhmeniyah. Alexander
pun mengikuti cara hidup, tradisi, dan budaya Persia, bahkan berusaha
meniciptakan kebudayaan baru yang memadukan kebudayaan Persia dengan Yunani.[4]
Alexander memerintah selama 13
tahun. Semasa kepemimpinannya, ia mampu membangun sebuah imperium yang lebih
besar dari setiap imperium yang pernah ada sebelumnya. Sewaktu di Babilonia,
Alexander tiba-tiba terkena sakit parah dan mengalami demam selama 11 hari hingga
akhirnya meninggal pada tanggal 10 juni 323, dalam usia sekitar 33 tahun.
Penyebab kematiannya menjadi misteri, namun diperkirakan ia diracun.[5]
Sesaat setelah kematian Alexander,
terjadilah perpecahan di antara para panglima militernya. Mereka pun mulai membagi
wilayah kekuasaan yang telah ditaklukan Alexander. Wilayah Persia, pada
akhirnya, menjadi milik salah seorang jenderal Alexander, yaitu panglima
Seleukus. Sejak saat itu, Persia memasuki era pemerintahan kekaisaran Seleukus
yang berlangsung hingga tahun 141 SM. Di bawah kekaisaran ini, Persia mengalami
babak sejarah yang cemerlang. Kekaisaran tersebut berhasil menggabungkan Asia
Kecil, Syam, Irak, dan Iran menjadi satu kesatuan wilayah. Ibu kota baru pun
didirikan sebagai pusat pemerintahannya, yaitu Seleukia yang terletak di
Tigris, Irak. Dinasti ini juga mempunyai ibu kota kedua di wilayah bagian
barat, yaitu Antakya yang terletak di lembah sungai al-Ashi.[6]
Setelah itu, kerajaan Persia
dikuasai oleh Kekaisaran Parthia yang menguasai Persia pada tahun 247 SM-224 M
setelah berhasil menaklukkan kekaisaran Seleukus. Kekaisaran Parthia disebut
juga Dinasti Arcia, yang dinisbahkan pada raja pertamanya, yaitu Arcia I. Nama
Arcia kemudian dipakai sebagai gelar untuk seluruh kaisar Parthia, seperti
gelar kaisar pada raja-raja Romawi. Kekaisaran ini banyak terlibat serangkaian
perang dengan imperium Romawi. Mereka bahkan pernah meraih kemenangan gemilang
atas Romawi pada tahun 54 SM. Kemenangan ini menjadikan Persia sebagai
satu-satunya kekuasaan terbesar dunia saat itu. Meskipun rentang masa
pemerintah kekaisaran ini mencapai 5 abad lebih, namun tidak meninggalkan
banyak jejak peradaban sebagaimana kekaisaran Persia lainnya.[7]
Ketika Artabanus IV menjadi raja,
kekaisaran Parthia dikalahkan oleh Ardashir I. Sejak itu, kerajaan Persia
dipimpin oleh kekaisaran Sasanid yang didirikan oleh Ardashir I yang berkuasa
pada tahun 224 M. Pada masa dinasti ini, peradaban Persia dan Zoroaster kembali
dihidupkan, sekaligus membangun kembali tradisi Persia penginggalan dar Dinasti
Akhmeniyah. Dinasti ini juga melakukan hubungan dagang dengan pihak musuh utama
mereka, yaitu Romawi (Byzantium).[8]
Ardhasir memiliki posisi yang tinggi
dalam sejarah orang-orang Iran. Ia dipandang sebagai sosok yang berhasil
menyatukan bangsa Iran, orang yang menghidupkan kembali ajaran Zoroaster,
sekaligus sebagai pendiri Imperium Pahlavi. Ardhasir wafat pada tahun 240 M dan
digantikan oleh putranya, Shapur yang kembali memerangi Byzantium, dan berhasil
menaklukkan kaisar Romawi.[9]
Itulah sekilas peradaban Persia Kuno
yang memiliki peran cukup besar terhadap perkembangan agama Zoroaster.
B. Awal Munculnya Agama Zoroaster
Tidak ada jawaban yang pasti. Akan
tetapi, para peneliti bersepakat bahwa Zoroastriansme lahir di dunia kira-kira
2000-1800 SM. Pendapat ini berdasarkan zaman saat “tokoh utama” agama ini
(Zarathustra) hidup.[10]
Setelah Zarathustra berhasil mengembangkan
ajarannya di Persia, raja-raja dari Dinasti Achaemenids menjadi penganut agama
Zoroaster sampai pada raja Darius III (363-331 SM). Ketika Imperium Persia
ditaklukkan oleh Alexander the Great, agama Zoroaster semakin meredup, kemudian
berlangsung Hellenisasi yang intensif di seluruh wilayah Persia.[12]
Pada raja-raja Archaemenids tersebut
hingga masa tumbanganya pertumbuhan dan
perkembangan agama Zoroaster terbagi atas 3 tahap masa, sebagai berikut:
1.
Masa
600-550 SM (150 tahun), merupakan masa pertumbuhan kekuasaan dan pengembangan
agama Zoroaster.
2.
Masa
550-486 SM (65 tahun), merupakan masa perluasan kekuasaan dan perluasan
pengaruh agama Zoroaster
3.
Masa
486-331 SM (156 tahun), merupakan masa peperangan yang terus menerus dengan
Yunani.[13]
Selama proses Hellenisasi, pemaksaan
kebudayaan mitologi dan filsafat Yunani yang berlangsung selama 5 abad di bawah
pemerintahan Dinasti Seleucids atau Seleukus (248-226 SM), dan Dinasti Arsacids
ini, secara perlahan, peradaban Persia lenyap dan digantikan oleh peradaban
Yunani. Selain itu, mitologi Yunani yang memuja Dewa Zeus yang melambangkan
dewa Matahari), beserta pemujaan dewa-dewa lainnya diserap oleh masyarakat
Persia hingga agama Zoroaster yang asli dan menganut monotesme, digantikan oleh
aliran-aliran Mazdaism, Mithraism, dan Machaenism.[14]
Aliran-aliran tersebut kemudian
berkembang dan menjadi anutan rakyat umum dari abad ke abad sampai pada masa
pertumbuhan dan perkembangan kekuasaan nasional Iran kembali, yaitu Dinasti
Sassanid. Adapun aliran yang paling berpengaruh di antara aliran itu adalah
Mazdaism, yang lambat laun dikenal dengan agama Majusi, karena upacara-upacara
kebaktian dilaksanakan melalui para pendeta kuil yang dipanggilkan dengan kaum
Majusi.[15]
Setelah kembali bangkit, meskipun di
satu sisi sudah banyak bercampur dengan kepercayaan Yunani, agama Zoroaster
kembali meredup. Hal ini disebabkan oleh runtuhnya Dinasti Sassanid.
Sebagaimana tercatat dalam sejarah, tahun 641 M, yaitu pada masa pemerintahan
Koshru Yesdegird III (634-641 M), dinasti ini ditumbangkan oleh kekuasaan Islam
yang saaat itu dipimpin oleh Khalifah Umar ibn Khattab (634-644 M). Runtuhnya
dinasti Sassanid sekaligus menjadi perkembangan terakhir agama Zoroaster
sepanjang sejarahnya semenjak 12 abad lamanya.[16]
Sesudah ditaklukan oleh kekhalifahan
Umar ibn Khattab sekitar abad ke-7 M, sebagian besar penduduk Persia lambat
laun memeluk agama Islam. Sekitar abad ke-10 M, sisa-sisa penganut agama
Zoroaster melarikan diri ke Hormusz, sebuah pulau di Teluk Persia. Dari sana,
mereka atau keturunannya pergi ke India dan mendirikan semacam koloni. Orang
Hindu menyebut mereka Parsees karena mereka berasal dari Persia. Saat ini,
diperkirakan 100.000 lebih kelompok Parsees di India, umumnya tinggal di dekat
kota Bombay. Meskipun sudah tergusur, Zoroastrianisme tidak pernah lenyap
seluruhnya di Iran. Saat ini, populasi Zoroaster di Iran sekitar 25.000 orang
dan mayoritas mereka menetap di Teheran, Kerman, dan Yazd.[17]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar