1. Bersuci
dan Sembahyang (Beribadah)
“Bikinlah dirimu itu murni, orang yang benar. Seseorang di dunia
ini akan bisa memenangi kemurnian itu untuk dirinya apabila dia membersihkan
dirinya sendiridengan pikiran, perkataan dan perbuatan baik.” (SBE, 4: 141)[1]
Dalam buku Zoroastrians, Their Religious Beliefs and Practice, Mary
Boyce mengatakan bahwa waktu pelaksanaan
ibadah orang-orang Persia kuno ialah
ketika matahari terbit, tengah hari, dan matahari terbenam di
peruntukkan bagi roh orang yang telah meninggal dunia.[2] Zoroaster memberikan dua tambahan lagi sehingga agama ini mewajibkan untuk
beribadah lima kali sehari. Tambahan pertama adalah sepeti waktu ashar dalam
agama islam, yaitu tengah-tengah antara tengah hari dan waktu matahari
terbenam. Selama musim panas doa yang dibaca pada tengah hari berfungsi
membantu orang yang shaleh untuk berfikir tentang kebenaran serta tentang
kejayaan kebaikan sekarang dan yang akan datang, sedangkan selama musim
dingin peringatan tahunan akan adanya
kekuatan jahat yang mengancam dan perlu menangkalnya. Tambahan kedua, waaktu
tengah malam, tenggang waktunya sampai saat matahari terbit. Doa dipersembahkan
bagi Sraosha, Tuhannya doa. Waktu ini adalah saat kekuatan kegelapan
berada pada puncaknya, dan mencari mangsa. Pengikut Zoroaster harus bangun,
mengisi minyak dan dupa pada tungku api dan memperkuat kebaikan dengan doa-doa.
Praktik sembahyangnya sebagai berikut:
a. Mempersiapkan
diri dengan mencuci wajah, tangan, dan kaki dari kotoran debu kemudian menutup
sebagian mukanya.
b. Melepaskan
tali kawat suci dan berdiri dengan tali dipegang dengan kedua tangan di
mukanya, tegak lurus lurud dihadapan penciptanya, mata menatap simbol
kebajikan, yakni api.
c. Selanjutnya
berdoa kepada Ohrmazd (Ahura Mazda), mengutuk Ahriman (sambil
memukul-mukulkan ujung kawat denga penghinaan), lalu memasang tali kawat lagi
sambil masih berdoa.
2. Hari-Hari
Raya
Ada beberapa perayaan yang dilaksanakan oleh pengikut Zoroaster,
diantaranya:
a. Pateti,
hari “penyesalan”. Dari Patet yang bermakna “pengakuan”. Merupakan hari
introspeksi, pertobatan, dilaksanakan pada hari terakhir (atau pada 5 hari
terakhir) dari tahun kalender.
b.
Sadeh, perayaan pertengahan musim dingin secara tradisional
dirayakan selama 100 hari. Setelah hari pertama musim dingin, atau
alternatifnya, 50 hari (100 hari dan malam) sebelum hari Tahun Baru. Karena
perayaan ini membangun api unggun, di sebut juga AdarJasha.
c. Zartosht
Tidak-Diso, ulang tahun kematian Zarathushtra, dirayakan pada hari ke-11
(Khorshed) dari bulan ke-10 (Dae). Dalam kalender musiman, perayaan
kematian Zoroaster jatuh pada tanggal 26 Desember.
d. Sal
Khordad, merupakan hari kelahiran Zoroaster. Dirayakan enam hari setelah Nauruz.
Acara ini dianggap sebagai salah satu yang terpenting dalam kalender Zoroaster.
Saat upacara sedang berlangsung penganut Zoroaster berkumpul di kuil api dan
berdoa, kemudian merayakan dengan pesta.[3]
e. Noruz/Nauruz
(Tahun Baru), adalah pesta wajib ketujuh dan didedikasikan untuk menembak. Ini
merupakan perayaan tahun baru Zoroaster dan terjadi pada musim semi.[4]
f.
Gahanbars
(Pesta Wajib), perayaan-perayaan yang erat kaitannya dengan musim, yaitu:
1)
Maidyozarem
(perayaan pertengahan musim semi).
2)
Maidyoshahem
(perayaan pertengahan musim panas).
3)
Paitishahem
(perayaan membawa panen).
4)
Ayathrem
(perayaan membawa pulang ternak).
5)
Maidyarem
(perayaana pertengahan tahun/musim dingin).
6)
Hamaspathmaidyem
(perayaan semua jiwa).
3. Upacara
Keagamaan
a.
Ritual
Naojote
Istilah
Naojote (sedreh pushi, upacara inisiasi) berasal dari kata nao
yang berarti baru dan jote atau zote artinya
mempersembahkan doa-doa. Upacara ini merupakan upacara penandaan atau Navjot
(kelahiran baru), yaitu perayaan ketika seorang anak di terima masuk
kedalam agama Zoroaster, dengan diberikan simbolisasi keimanan baju (sudreh)
dan korset (kusti), pakaian suci yang harus di pakai seumur hidup. Upacara ini
dilakukan pada saat anak-anak berusia antara tujuh hingga sepuluh tahundan
hukumnya wajib bagi semua keluarga Zoroaster, di lakukan oleh mobed
(Imam). Setelah mengikuti ritus Naojote. Anak-anak dianggap sudah mempunyai
kewajiban dan tanggung jawab untuk menjalankan ritus-ritus keagamaan dalam
zoroastrianisme.
b.
Kusti
Kusti
adalah kain suci yang di kenakan oleh
penganut Zoroaster di sekitar pinggang. Kusti dikenakan tiga kali sehari,
terikat dua kali dalam simpul ganda di depan dan belakan, Ujung kusti
tergantung di belakang. Penggunaannya sangat simbiolis dan mencerminkan
sejumlah nilai dalam iman Zoroaster sebagai pengabdian kepada Ahura Mazda. Kusti dibuat dari
tujuh puluh dua benang putih yang ditenun perempuan dari kelas imam dan
ditahbiskan oleh seorang iman. Setiap pembagian kusti memiliki makna agama.
1)
72
benang mewakili bab 72 dari yasna, merupakan bagian dari Avesta.
2)
Benang
dibagi menjadi enam bagian, mewakili enam tugas utama seorang Zoroastrian.
3)
Saat
kusti selesai, ujung-ujung benang berubah menjadi tiga jumbai di setiap akhir, mewakili enam festival musiman Gahambars.
4)
Setiap
rumbai terdiri dari 24 benang, mewakili 24 bagian dari doa liturgis di sebut
Visparad.
4. Upacara
Perkawinan
Zoroastrianis mendorong masyarakat menikah berdasarkan anjuran teks-teks agama. Pria dan wanita di
bolehkan menikah setelah mereka mencapai
usia 15 tahun.
Sebelum melakukan upacara pernikahan, ada ritual yang harus
dilakukan, diantaranya:[5]
a.
Adravvun
(Nam Padvun)
Dalam kunjungan
pertama ke rumah calon pasanagan, pihak laki-laki memberikan koin perak sebagai
pertanda adanya pertunangan.
b.
Divo
Dua lampu yang
menyala, satu dimasing-masing rumah kedua mempelai yang akan menikah. Lalu,
menempatkan koin perak pada lampu. Selain itu, dilakukan pertukaran cincin
kawin.
c.
Adarni
Dalam upacara perkawinan ada dua tahap: mempelai wanita dan mempelai laki-laki serta wali mereka menandatangani kontrak perkawinan. Selanjutnya diikuti dengan pesta dan perayaan yang secara tradisional berakhir 3-7 hari. Bagian terpenting dari upacara perkawinan yaitu tiga kali pengucapan akad perkawinan oleh pendeta resmi, diikuti pemberkatan Tuhan, Amesha Spentas, dan Yazatas pada pasangan baru.
5. Ritual
Kematian
Agama Zoroaster lebih
mengutamakan roh, dan jasad orang mati dipandang najis. Zoroastrianisme percaya
bahwa segera setelah napas telah pergi, tubuh menjadi kotor. Kematian dianggap
sebagai karya Angra Mainyu, perwujudan dari semua yang jahat, sedangkan
bumi dan segala sesuatu yang indah dianggap sebagai murni pekerjaan Ahura
Mazda.
Adapun tahap-tahap yang dilakukan saat upacara kematian sebagai
berikut:
a.
Mayat
dibiarkan dalam suatu ruangan rumah selama tiga harisebelum dibawa ke Dakhma.
b.
Di
Dakhma, mayat ditelanjangi dan ditidurkan diatas menara terbukadan dibiarkan
agar dimakan oleh burung-burung.
c.
Sisa-sisa
tulang kemudian dibuang kedalam sumur.
Setiap upacara kematian dipimpin
oleh pendeta dan diselenggarakan dikuil Bachram, kuil terbesar pengikut
Zarathustra dengan apinya yang terus menyala selamanya.
[1] Siti Nadroh & Syaiful Azmi, Agama-Agama
Minor, h. 43.
[2] Ali Imron, Sejarah Terlengkap
Agama-agama Dunia, h. 296.
[3] Siti Nadroh & Syaiful Azmi, Agama-Agama
Minor, h. 43-45.
[4] Ali Imron, Sejarah Terlengkap
Agama-agama Dunia, h. 302
[5] Siti Nadroh & Syaiful Azmi, Agama-Agama
Minor, h. 45-46.
[6] Ali Imron, Sejarah Terlengkap
Agama-agama Dunia, h. 298-299.
[7] Siti Nadroh & Syaiful Azmi, Agama-Agama
Minor, h. 47.
info menarik seputar agama Zoroaster
BalasHapus